Pesantren Sebagai Kaderisasi Pendidikan Politik - ANSOR TANGSEL

Monday, February 22, 2021

Pesantren Sebagai Kaderisasi Pendidikan Politik

 

Pesantren dan Politik


Berbicara dunia politik di pesantren, seolah menjadi hal yang taklazim. Ketidaklaziman ini lebih dikarenakan konsepsi seseorang yang menempatkan pesantren hanya sekadar tempat reproduksi keilmuanan dan sebagainnya, terpisah dari dunia politik, bukan sebagai agen perubahan. Padahal sejatinya tidak demikian, pesantren adalah eplika kehidupan yang memadu pelbagai kecakapan hidup, tak terkecuali kecapan politik.

 

Hal tersebut muncul ditengah sulitnya menemukan figur pemimpin di Indonesia yang baik. Buktinya, data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mencatat hingga Februari 2015 sebanyak 343 orang dari total 524 orang kepala daerah, dan wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

 

Ironisnya lagi, mayoritas pelaku tindakan korupsi notabene beragama Islam, dan tidak sedikit di antara mereka berasal dari politik berlabel Islam. Persoalan lainnya yang tak kalah penting adalah hingga kini partai politik belum—untuk tidak mengatakan tidak— mampu melakukan pendidikan politik secara baik.

 

Indikasinya sederhana, disetiap suksesi pemilihan umum mulai dari penjaringan bakal presiden, gubernur, wali kota, bupati, DPR, DPRD I, dan DPRD II partai politik selalu kesulitan mencari bakal calon. Alhasil, partai politik asyik merayu bakal calon eksekutif, dan legislatif diluar kader partai, mulai dari kaum akademisi, agamawan, seniman, pengusaha hingga artis papan atas.

 

Itulah potret buram kaderisasi politik yang belum matang. Namun masih ada harapan kedepan untuk menyiapkan pemimpin politik yang berkualitas dan berintegritas.

 

Pondok Pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional hingga kini tetap diyakini sebagai salah satu pendidikan yang terbaik di bumi nusantara. Keberadaan pondok pesantren tetap mendapat tempat tersendiri di hati umat Islam, walau belakangan ini lembaga pendidikan modern lainnya kian berkembang. Lebih-lebih, bagi warga masyarakat nahdhiyin yang tinggal di pedasaan (urban), alias masyarakat ‘pinggiran’. Bahkan, tidak sedikit masyarakat muslim puritan menganggap pendidikan pondok pesantren sama pentingnya dengan pendidikan formal (sekolah) bagi buah hati mereka.

 

Di pondok pesantren, para santri tidak hanya mendapatkan ilmu agama Islam, budaya literasi, managemen diri, kecapan hidup (life skill), ilmu etika, bahkan dasar-dasar politik juga acapkali diperoleh. Hanya saja ukuran keberhasilannya tidak terukur, dan terstandarkan. Satu sama lainnya berbeda-beda, tergantung pada kesungguhan masing-masing, dan daya tangkap santri itu sendiri. Keberhasilan, dan ketuntasan pemahaman santri yang bersifat personal-kualitatif inilah yang menuai kritik tajam dari para kritikus dunia persekolahan modern.

 

Pendidikan politik adalah salah satu ragam pendidikan yang dibangun, dan ditumbuh-kembangkan di pondok pesantren. Akan tetapi, cara, dan metode tidak didesain, apalagi dipersiapkan secara baik. Bahkan, sang empunya—kiai, ustad, dan pengurus—tidak sadar jika telah mengajarkan nilai-nilai pendidikan politik di pesantren.

 

Pelbagai aktivitas yang mengarah pada pendidikan dasar-dasar politik seperti kebebasan menyampaikan pendapat, menghargai perbedaan, toleransi, dan budaya telah terpraktikkan di pesantren. Setidaknya ada lima aktifitas di pondok pesantren yang mengkondisikan para santri memahami nilai-nilai politik, yakni:

 

1) Forum diskusi (musyawarah) kitab;
2) Kajian al-Fiqh ‘alāalMadhāhib al-Arba’ah;
3) Forum khiṭābiyah;
4) Praktik budaya demokrasi;
5) Kajian bath al-masāil.

 

Pendidikan politik di dunia pondok pesantren menjadi salah satu tempat reproduksi calon pemimpin yang ideal di Indonesia. Hal ini dikarenakan kecakapan agama yang menyertai jati diri santri dapat menjadi modal intelektual yang baik dalam menjiwai arah politik santri di masa depan. Konstruksi bagunan pendidikan politik di pondok pesantren telah terpraktikkan dalam kegiatan keseharian, berupa:

 

(1) Tersemainya arena pendidikan politik dengan baik di pesantren;
(2) Terwujudnya sekolah (kursus) politik bagi alumni pesantren yang potensial;
(3) Terwujudnya reformulasi pendidikan kepemimpinan di pesantren.

 

Dengan demikian, pendidikan politik di pondok pesantren sejatinya merupakan ijtihad ilmiah untuk memantik, sekaligus pengungkit (leverage) terwujudnya calon pemimpin ideal versi Islam di Indonesia.

 

Hanya saja, orientasi, dan tujuan perpolitikan ala santri bukan sekadar menjadikan kekuasaan sebagai tumpuan akhir, melainkan sebagai bagian dari instrumen dakwah dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

 

Editor : Kholili
Penulis : Syaiful Ahyar – Kader GP Ansor Tangsel dan Redaktur NUOnline Banten.


Pustaka:
Disarikan dari Jurnal Al-Tahrir, Vol 16, 2 November 2016 dengan Tema ”Pesantren dan Pendidikan Politik di Indonesia: Sebuah Reformasi Kepemimpinan Islam Futuristik” Penulis: Mukodi (STKIP PGRI Pacitan).


Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments