Berbicara dunia politik di pesantren, seolah menjadi hal yang
taklazim. Ketidaklaziman ini lebih dikarenakan konsepsi seseorang yang
menempatkan pesantren hanya sekadar tempat reproduksi keilmuanan dan
sebagainnya, terpisah dari dunia politik, bukan sebagai agen perubahan. Padahal
sejatinya tidak demikian, pesantren adalah eplika kehidupan yang memadu
pelbagai kecakapan hidup, tak terkecuali kecapan politik.
Hal tersebut muncul ditengah sulitnya menemukan figur pemimpin di
Indonesia yang baik. Buktinya, data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
telah mencatat hingga Februari 2015 sebanyak 343 orang dari total 524 orang
kepala daerah, dan wakil kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Ironisnya lagi, mayoritas pelaku tindakan korupsi notabene beragama
Islam, dan tidak sedikit di antara mereka berasal dari politik berlabel Islam.
Persoalan lainnya yang tak kalah penting adalah hingga kini partai politik
belum—untuk tidak mengatakan tidak— mampu melakukan pendidikan politik secara
baik.
Indikasinya sederhana, disetiap suksesi pemilihan umum mulai dari
penjaringan bakal presiden, gubernur, wali kota, bupati, DPR, DPRD I, dan DPRD
II partai politik selalu kesulitan mencari bakal calon. Alhasil, partai politik
asyik merayu bakal calon eksekutif, dan legislatif diluar kader partai, mulai
dari kaum akademisi, agamawan, seniman, pengusaha hingga artis papan atas.
Itulah potret buram kaderisasi politik yang belum matang. Namun
masih ada harapan kedepan untuk menyiapkan pemimpin politik yang berkualitas
dan berintegritas.
Pondok Pesantren sebagai sub sistem pendidikan nasional hingga kini
tetap diyakini sebagai salah satu pendidikan yang terbaik di bumi nusantara.
Keberadaan pondok pesantren tetap mendapat tempat tersendiri di hati umat
Islam, walau belakangan ini lembaga pendidikan modern lainnya kian berkembang.
Lebih-lebih, bagi warga masyarakat nahdhiyin yang tinggal di pedasaan (urban),
alias masyarakat ‘pinggiran’. Bahkan, tidak sedikit masyarakat muslim puritan
menganggap pendidikan pondok pesantren sama pentingnya dengan pendidikan formal
(sekolah) bagi buah hati mereka.
Di pondok pesantren, para santri tidak hanya mendapatkan ilmu agama
Islam, budaya literasi, managemen diri, kecapan hidup (life skill), ilmu etika,
bahkan dasar-dasar politik juga acapkali diperoleh. Hanya saja ukuran
keberhasilannya tidak terukur, dan terstandarkan. Satu sama lainnya
berbeda-beda, tergantung pada kesungguhan masing-masing, dan daya tangkap
santri itu sendiri. Keberhasilan, dan ketuntasan pemahaman santri yang bersifat
personal-kualitatif inilah yang menuai kritik tajam dari para kritikus dunia
persekolahan modern.
Pendidikan politik adalah salah satu ragam pendidikan yang
dibangun, dan ditumbuh-kembangkan di pondok pesantren. Akan tetapi, cara, dan
metode tidak didesain, apalagi dipersiapkan secara baik. Bahkan, sang
empunya—kiai, ustad, dan pengurus—tidak sadar jika telah mengajarkan
nilai-nilai pendidikan politik di pesantren.
Pelbagai aktivitas yang mengarah pada pendidikan dasar-dasar
politik seperti kebebasan menyampaikan pendapat, menghargai perbedaan,
toleransi, dan budaya telah terpraktikkan di pesantren. Setidaknya ada lima
aktifitas di pondok pesantren yang mengkondisikan para santri memahami
nilai-nilai politik, yakni:
1) Forum diskusi (musyawarah) kitab;
2) Kajian al-Fiqh ‘alāalMadhāhib al-Arba’ah;
3) Forum khiṭābiyah;
4) Praktik budaya demokrasi;
5) Kajian bath al-masāil.
Pendidikan politik di dunia pondok pesantren menjadi salah satu
tempat reproduksi calon pemimpin yang ideal di Indonesia. Hal ini dikarenakan
kecakapan agama yang menyertai jati diri santri dapat menjadi modal intelektual
yang baik dalam menjiwai arah politik santri di masa depan. Konstruksi bagunan
pendidikan politik di pondok pesantren telah terpraktikkan dalam kegiatan
keseharian, berupa:
(1) Tersemainya arena pendidikan politik dengan baik di pesantren;
(2) Terwujudnya sekolah (kursus) politik bagi alumni pesantren yang
potensial;
(3) Terwujudnya reformulasi pendidikan kepemimpinan di pesantren.
Dengan demikian, pendidikan politik di pondok pesantren sejatinya
merupakan ijtihad ilmiah untuk memantik, sekaligus pengungkit (leverage)
terwujudnya calon pemimpin ideal versi Islam di Indonesia.
Hanya saja, orientasi, dan tujuan perpolitikan ala santri bukan
sekadar menjadikan kekuasaan sebagai tumpuan akhir, melainkan sebagai bagian
dari instrumen dakwah dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Penulis : Syaiful Ahyar – Kader GP Ansor Tangsel dan Redaktur NUOnline Banten.